Friday, June 17, 2016

JHouse Groovy Wednesday


Words: Edwin Pangestu
Photos: Edwin Pangestu

J House Wine Resto mengadakan acara bertema Groovy Wednesday pada 4 Mei lalu. Restoran yang berlokasi di KH Mas Mansyur ini menyuguhkan hiburan di kala menjelang libur panjang dengan mempersembahkan pertunjukkan DJ yang atraktif. Bekerjasama dengan PT Hatten Wines, acara tersebut sukses menyedot antusiasme kaum urban untuk bersama-sama merayakan datangnya long weekend.

Berbasis di Bali, Hattens Wines telah berdiri sejak 1994 dan menjadi pelopor wine lokal di Indonesia. Disamping Hatten Wines, tersedia pula merek Two Islands yang kini beredar di pasaran, baik lokal maupun internasional. Walaupun keduanya sama-sama diproduksi di Bali, Two Islands menggunakan anggur impor asal Australia. Berikut adalah review 5 varian Two Islands wine yang disajikan pada malam itu.


1. Two Islands Sauvignon Blanc (2014)
Grapes : South Australian, predominantly cool climate of Adelaide Hills and Limestone Coast.
Karakter white wine sebenarnya bukan masuk ke daftar wine favorit saya. Namun kali ini justru berbeda, saya suka dengan racikan Sauvignon Blanc dari Two Islands. Bukan karena intensitasnya, justru karena rasanya bagi saya fresh. Mulai dari body yang ringan, juicy, dan sedikit bitter, semuanya begitu lembut dan menyenangkan. Merupakan sebuah starter sempurna untuk dinikmati sebelum menyantap makan malam. Ini adalah wine yang cocok dipasangkan dengan salad tanpa dressing yang berlebihan.
               
2. Two Islands Chardonnay (2014)
Grapes : Adelaide Hills and Limestone Coast
Wine ini memiliki aroma yang sedikit oaky dan fruitiness yang dominan. Sementara dari segi rasa begitu subtle, mulai dari rasa acid, manis, hingga bitter. Dengan body yang terbilang smooth dan sedikit rasa smoky, ini merupakan wine yang cukup ringan dan mudah dinikmati bagi pemula. Wine ini tepat dipasangkan dengan salmon karena memiliki karakter yang tak jauh berbeda. Makanan lain dalam benak saya yang akan cocok dengan wine ini adalah sesuatu yang fruity, manis dan asam, saya membayangkan pasta atau pizza dengan saus tomat.

3. Two Islands Cab Merlot (2014)
Grapes : Coonawarra & other premium South Australian .
Saya semakin tertarik dengan kehadiran red wine yang terbuat dari 60% Cabernet Sauvignon dan 40% Merlot ini. Ya, Cab Merlot ini mempunyai rasa yang intens dengan body yang tebal. Ini adalah wine yang fleksibel dan “aman”. Warnanya menyerupai batu ruby dan aroma pertama yang tercium adalah wangi kayu dengan profil rasa yang seimbang.


4. Two Islands Shiraz (2014)
Grapes : Barossa Valley & Limestone Coast
Shiraz punya profil yang paling dekat dengan preferensi saya. Dimulai dengan rasa pahit yang cukup kuat di awal, Shiraz besutan Two Islands ini punya rasa yang rich dengan body yang cukup tebal. Setelah meneguk berkali-kali, wine jenis ini punya rasa yang begitu intens dan leburan rasa manis di bagian akhir. Sepertinya wine ini akan cocok dipasangkan dengan steak atau makanan lain yang beraroma smoky.

5. Dragonfly Moscato    

Moscato selalu menghadirkan kesenangan sejak awal tegukan. Sensasi lainnya adalah refreshing dan cocok dinikmati saat makan siang, komplimen untuk makanan penutup, serta pasangan yang tepat untuk hidangan pedas dan beraroma tajam. Dengan kadar alkohol yang rendah, memiliki aroma khas melon, buah peach, dan nanas. Terkadang tercium pula buah jeruk yang manis.



Friday, June 10, 2016

Unleashing The Penfold’s Bin 9 at The Red Party



Words: Edwin Pangestu
Photos: Edwin Pangestu & Marisa Aryani

It was a typical Friday night in Jakarta, and as the last working day, the traffic was worse than any other days. However, nothing can stop me from attending Red Party at Shangrila Hotel’s Satoo in May 28th 2016. Why Red you ask? Because the decoration and the dress code were bloody red, and Penfolds was launching their new red wine: Penfolds Bin 9 Cabernet Sauvignon.

I was greeted with some canape and Penfold Sauvignon Blanc. Surprisingly, their Sauvignon Blanc was truly pleasing to my palate, light, refreshing, with good balance of sweetness and acidity. One of the best Sauvignon Blanc I had for quite some times, and I don't normally love Blancs. The Sauvignon Blanc played a perfect role for appetizer, pairing for salad and to slightly  lift my feet up from the ground a bit, if you know what I mean. 



There are some events and presentation from Penfolds, but I hardly focused to any of them because I was busy checking out their wines and pairing it with foods that are available in Satoo. I had Sliced Rib Eye, Salmon Puff Pastry, pasta Bolognese, and creamy seafood pasta. Apart from the Bolognese, almost all of the food were slightly under-seasoned, or may I say, a bit bland for most Indonesians who got accustomed to very spicy food. People might whine about this, however, when I first sipped my Bin 9, I didn’t complain. It is just my assumption, but  somehow I got the impression that the Penfold’s team was deliberately doing this to match the profile of their new wine variants. And typically, Bin 9 went especially well with the under-seasoned Sliced Rib Eye.

The Tasting Notes
Cabernet Sauvignon is the most popular grape variety for wines, and the taste would vary greatly from many different wine houses. Most of the times, when people said, “tastes like red wine”, most probably they refer to Cabernet Sauvignon. Honestly, because of  its popularity, this type of grape rarely gives me a memorable impression. However, some Cabernet Sauvignon do stands out. Based on my experience most of them are French, and this Australian Cabernet Sauvignon is quite exceptional.

Compared to most Cabernet Sauvignon, Penfolds’ Bin 9 has more deep, complex aroma, slightly drier than the others. The profile was refreshing, but also a bit dark at the same time, I also had some hints of bay leaves, oak and dark chocolate. Somehow, I had the mysterious urge to have some intense cheese such as parmesan to go with this Bin 9. 

Of course, it is not fair to compare New World wines to the Old World ones. But this Bin 9 has this “toned-down” profile that I had from most French Cabernet Sauvignon. I dare anyone to have a blind test between this and any other French counterparts, I would love to see if anyone can tell the difference right away. 

It is a nice thing to have Penfolds’ Bin 8 Cabernet Shiraz for comparison. Honestly speaking, the dry, highly tannic, and spicy Shiraz is my personal’s favorite grape profile, so I might not be totally objective. On most occassions, 7 out of 10 times, I would go with Shiraz. But sometimes, when I go out just for wines, without any food, or when the food was lightly seasoned, Penfolds Bin 9 would be perfect! The Bin 8 had a more bold, tannic, cherry, oaky tasting notes, noticably silkier, smoother body, and longer aftertaste than the Bin 9. I assume it would be perfect for beef steak, lamb or any curry dishes.

Have you seen X-Men: Apocalypse? If wine were women, Bin 8 would the all-out sexy, bold, and mean Olivia Munn’s Psylocke, while Bin 9 is more like Sophie Turner’s Jean Grey. It  is a little bit shy, reserved, but could be powerful as well, or at least, it is slightly bolder than most Cabernet Sauvignon I’ve had. Anyone would be hard-pressed to choose between Olivia Munn or Sophie Turner, fortunately, since these are wines, it is okay to have both. I don’t think you can go wrong with any of them.

Verdict
Pros: Deep, complex aroma, dark yet refreshing, slightly dry, has the more sophisticated “toned-down” flavor profile that is identical to those French wines.
Cons: not as sweet as any other Cabernet Sauvignon, which could be troublesome for sweet tooths

Cheers!

Friday, April 25, 2014

Three Buns





Words & Photos: Edwin Pangestu

Setelah Potato Head Beach Club Bali, Potato Head Pacific Place, dan Potato Head Garage, PTT Family kembali meluncurkan venue barunya yang bernama Three Buns. Kesan pertama saya adalah, mereka tampaknya ingin menghadirkan suasana Bali yang santai ke Senopati. Awalnya, saya malah sangat excited dengan logo mereka, gambar wajah babi. Akhirnya Bali dan babi bisa kembali bersatu di Jakarta! Ternyata saya salah lihat, ternyata itu adalah wajah bulldog, too bad.

Menu makanan Three Buns berfokus pada burger dan bottled cocktails. Ini yang paling menarik, mereka sangat serius soal burger. Setelah beberapa kunjungan ke Potato Head, burger mini mereka selalu menjadi makanan favorit saya, tapi Adam Penney, Head Chef Three Buns membawa burger ke level yang lebih tinggi dengan 100% all natural burger, artisan buns & homemade slow cooked sauces.



Sebagai penggemar Rolling Stones, menu Honky-Tonk (soya milk fried chicken, coleslaw, lettuce, hot sauce & den miso mayo) tentu saja sangat menarik perhatian, tapi sejatinya, saya adalah seorang karnivor. Oleh sebab itu saya memesan Four Floors (double prime 100g beef patties, double cheese, triple onion, lettuce, pickles, ketchup & den miso mayo). Untuk mengimbang menu berat ini, saya membutuhkan sesuatu yang segar, seperti Very Berry (vodka with blackberries, strawberries, raspberries, cranberry, lime & honey).

Setelah pesanan saya datang, saya agak terkejut juga sih melihat ukuran burger ini, terutama tebalnya. Burger Blenger saja hampir selalu berhasil membuat rahang saya kram setiap berusaha menggigit dari bun atas hingga bawah. Ukuran Four Floors lebih tebal lagi, sebelum mempermalukan diri sendiri, lebih baik saya makan menggunakan sendok dan pisau saja.



Pernahkah Anda makan burger, pasta, atau apa saja, lalu Anda langsung merasa, “ah yang kaya gini gue juga bisa bikin di rumah!”? Anda tidak akan mengalaminya di sini (kecuali Anda memang usaha burger premium di rumah). Pertama, patty burgernya tidak terasa asin. Patty burger beku biasanya diasinkan, karena penggunaan garam juga berfungsi sebagai cara alami untuk mengawetkan makanan. Ini semakin meyakinkan saya bahwa Three Buns membuat sendiri patty mereka. 

Selain itu, meski bagian luar patty terlihat sedikit gosong (istilah kerennya: browning), sementara bagian dalamnya masih merah, juicy (bayangkan steak dengan tingkat kematangan medium). Untuk mencapai hasil seperti ini, Anda harus menggunakan api yang besar dan tentunya, jam terbang yang cukup tinggi. Inilah yang membedakan gourmet burger dan burger rumahan.

Kemudian, saus yang diklaim sebagai “homemade slow cooked” sepertinya memang benar, meski saya tidak melihat langsung proses pembuatannya. Rasa khas saus campuran tomat dan sayuran ini mengingatkan saya akan bolognese sauce yang sering saya buat di rumah, sama-sama dibuat dengan metode slow cooking. Ada rasa khas yang dihasilkan dari cara ini dan tidak bisa didapat hanya dengan mencampurkan bahan secara sembarangan, sulit untuk menjelaskannya dalam kata-kata. Memang dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk membuatnya, tapi hasilnya sangat worth it. 





Selain itu, Three Buns menggunakan red onion yang agak jarang saya jumpai di burger lain. Four Floors jelas bukan merupakan burger yang bisa dibuat siapa saja di rumah. Selain itu, Four Floors adalah burger dengan porsi “Amerika”. Saran saya, jika Anda datang berdua, coba pesan satu saja dulu. Saya agak nekad menghabiskan satu burger ini sendiri, kenyang banget coy! Dengan harga Rp 125.000, sepertinya Anda akan cukup kenyang jika memakannya berdua. Ini salah satu burger terenak yang pernah saya makan. Satu-satunya keluhan malah datang dari kentang gorengnya yang agak terlalu asin buat saya.

Very Berry (Rp 100.000) merupakan salah satu minuman rekomendasi dari PR Potato Head, bersama dengan Citrus Crush. Salah satu keunikan minuman ini adalah dikemas dalam botol yang agak mirip botol obat. Well, mocktail ini lumayan menyegarkan, bodynya cukup tebal jika belum bercampur es batu.... “Eh, itu kan cocktail,”  kata teman saya. Setelah saya lihat lagi, ternyata memang ada vodkanya, tapi entah kenapa tidak terasa sama sekali. Bisa jadi karena toleransi saya terhadap alkohol makin tinggi, mungkin esnya terlalu banyak, atau mungkin saya dipesankan versi mocktailnya (semua cocktail Twist bisa disajikan dalam bentuk mocktail seharga Rp 50.000). 




Sepertinya PTT Family memang ingin menambah variasi venuenya. Setelah Potato Head Garage yang sering dijadikan venue indoor untuk berbagai event, sekarang PTT Family bisa menawarkan Three Buns yang lebih casual. Saya melihat beberapa ekspatriat yang bekerja di sana mengenakan celana pendek. 

Kembali ke kesan pertama saya, seperti menghadirkan Bali ke Senopati, meski tanpa babi. Saya jamin, Three Buns akan menambah panjang kemacetan di Senopati setelah sebelumnya diperparah oleh Cacaote yang terletak beberapa rumah sebelum Three Buns.

Kesimpulan: ada kata “gourmet” pada burger Three Buns, dan kata itu bukan omong kosong




Three Buns
Jl. Senopati Raya no. 90
021 2930 7780
threebuns.com








Monday, April 7, 2014

Lacamera




The Slow Starter 

Words & Photos: Edwin Pangestu

Jujur saja, saya agak ketinggalan mengenai perkembangan coffee shop di daerah Bandung. Sekitar 2 tahun lalu, saya masih sering bolak-balik Jakarta-Bandung untuk urusan kerja, dan saat itu konsep coffee shop third wave belum terlalu populer. Setelah mengunjungi Bandung belum lama ini, saya tidak menyangka perkembangannya sudah begitu pesat.

Waktu pertama kali mendengar nama Lacamera, saya malah langsung berpikir, “apa hubungannnya dengan Tanamera yah?” Padahal Lacamera justru berdiri lebih dulu dari Tanamera.

Pertama kali menginjak kaki ke Lacamera, saya tidak terlalu terkejut dengan interior bernuansa industrial yang tampaknya lagi tren di kalangan coffee shop. Saya malah terkejut dengan harga kopi di sini yang relatif lebih murah daripada harga kopi di Jakarta. Secangkir espresso saja harganya Rp 15.000/cangkir.

Tentu saja tempat duduk di bar akan selalu menjadi favorit penggemar kopi agar dapat lebih mudah berkomunikasi dengan barista. Karena pilihan ini, saya malah beruntung bisa berkenalan dengan salah satu roaster muda Bandung, Dendi Hendra dari Djourney.



“Di Bandung, harga kopi tidak bisa lebih dari Rp 30.000, jika lebih dari itu, biasanya kopinya sudah sangat istimewa. Untuk kopi milk based, kami menjual dari harga Rp 20.000-Rp 25.000,” kata Roni Muliawan, Head Barista Lacamera yang juga menjabat sebagai ketua Barista Community Bandung periode Januari-Juni 2014.

Untuk kopi manual brew, Lacamera sengaja hanya menyediakan maksimal 4-5 single origin per bulan. “Saya pernah ke 3 cafe yang menjual banyak pilihan single origin, hingga 10-12 toples. Mereka tidak produksi (roasting) kopi sendiri, tapi mereka berani memajang sebanyak itu. Karena saya kenal baristanya, saya tahu hanya ada sekitar 3 single origin yang penjualannya tinggi, selebihnya sudah di sana lebih dari 2 bulan (tidak fresh lagi),” jelas Roni.

Meski menyediakan banyak kopi dari luar negeri, Lacamera mengaku lebih concern terhadap kopi lokal. “Bean dari luar tentu saja ada, pelanggan biasanya memesan lebih karena penasaran seperti apa rasanya. Mereka biasanya adalah penggemar profil kopi yang low body dan high acidity.”

Bean lokal yang penjualannya paling tinggi adalah yang berasal dari Jawa Barat dan yang prosesnya natural atau honey. Roni mengaku pelanggan Lacamera menginginkan rasa manis dari aroma yang  berbeda, seperti aroma nangka, salak, atau tomat matang.

Roni sendiri mengaku body adalah salah satu hal terpenting yang ia nilai dari kopi. “Jika bodynya sudah tinggi, saya hampir tidak bisa minum, biasanya saya tambahkan gula atau air putih, tidak kuat saja, mungkin karena sudah terdoktrin. Dulu saya senang sekali membuat latte art, tiap pagi saya minum latte, tapi sekarang, rasanya tiap pagi saya harus minum kopi manual brew. Sekarang saya masih bikin latte art sih, tapi kopinya saya kasih orang lain.” 

Roni Muliawan


“Saya suka kopi yang smooth, aciditynya lebih keluar, flavornya balance, dan yang terpenting medium body. Sementara untuk bitterness, yang paling enak buat saya adalah dark chocolate, selain itu saya tidak bisa minum,” tutur Roni yang menobatkan bean dari Jawa Barat yaitu Malabar dan Gambung sebagai favoritnya.

Jika hanya boleh memilih satu bean untuk rekomendasi, Roni memilih kopi dari Ciwidey, Gambung dengan proses natural yang diseduh dengan chemex, V60, atau aeropress. “Kopi Jawa Barat itu karakter bodynya memang medium, tapi kelemahannya adalah, ketika dibuat cappuccino atau latte, rasanya akan kalah dominan. Bagusnya sih bean Jawa Barat dinikmati dengan cara filter karena rasanya lembut.”

Sementara untuk house blend, Lacamera mencampur kopi Toraja Pasongket, Bali Vintage, dan Jawa Barat Malabar untuk mendapatkan profil high acidity dengan rasa fruity yang lebih menonjol. Setelah mencicipi espresso house blend dan kopi Gambung yang diseduh menggunakan chemex, saya bisa mengambil kesimpulan: kopi Lacamera sengaja didesain untuk tidak langsung diminum. Mengingatkan saya dengan timnas sepakbola Jerman yang terkenal lama panasnya.

Pada awalnya, baik espresso mau pun kopi filternya mungkin terasa agak flat. Namun setelah sekitar 5 menit, acidity, fruitiness, dan flavor lain dari kopi akan mulai mendominasi. Sangat sopan (saya tahu kopi dari tempat lain yang pendekatannya lebih straight forward, in-your-face, tidak ada yang buruk soal ini hanya berbeda saja). Kopi Gambung filter malah memiliki rasa manis dan asam yang mirip dengan blueberry, luar biasa. Roni sukses menonjolkan rasa terbaik dari kopi Gambung ini.



Rahasia dari Konsistensi Rasa
Jika Anda ingin mengetahui karakter sebuah kopi, ada baiknya Anda tidak langsung menghabiskannya. Nikmati sedikit demi sedikit hingga beberapa saat untuk mengetahui perubahan rasanya ketika mengalami penurunan suhu. Dan yang menjadi catatan saya adalah, sementara kopi di tempat lain akan semakin acid dan pahit setelah 15-20 menit, rasa kopi seduhan Roni ini tetap konsisten, bahkan makin enak, tentunya hingga titik tertentu. Saya mencoba merayu Roni untuk membuka “rahasia”nya.

“Saya bermain di suhu rendah, yaitu di 82o C. Saya sudah bereksperimen di suhu mulai dari 92o, 90o, 85o, 82o. Ternyata dengan perbandingan jumlah bubuk kopi, air, waktu dan temperatur air, kopi seduhan saya terasa lebih enak di 82o dan 85o. Sebetulnya bermain di suhu rendah lebih beresiko, jika perbandingannya salah, rasanya akan hancur. Saya sengaja mengatur waktu pouring di 1,5 hingga 2 menit. Jika lebih dari 2 menit, saya merasa rasanya lebih flat, gak dapet. Tapi saya ambil resiko itu,” kata Roni.



Menurutnya, banyak penggemar kopi Lacamera yang memesan kopi, buka laptop, lalu melupakan kopinya. Oleh sebab itu, Roni sengaja mendesain kopi yang rasanya tetap konsisten. Dari mana Roni mendapatkan ide seperti itu?

“Saya dulu lebih fokus ke latte art, sudah lama sekali. Di sini ketika bermain manual brew, awalnya saya tidak tahu bagaimana standar penyeduhan yang benar. Tapi secara logika saja, semakin lama suhu kopi akan semakin turun kan? Jika Anda tidak minum langsung habis, ada jeda dari panas, hangat, lalu dingin. Ketika saya menyeduh di suhu 82o C, jaraknya tidak terlalu jauh. Di suhu 92o C, yang saya rasakan adalah perubahan suhu mengakibatkan perubahan rasa yang tidak konsisten. Saya tidak tahu apa pendapat para ahli kopi tentang ini, tapi berdasarkan logika dan pengalaman saya, banyak  yang suka dengan kopi seduhan saya di suhu 82o,” ungkapnya.


Menyesuaikan Pangsa Pasar
Tentu saja, penggemar kopi memiliki preferensinya sendiri mengenai rasa “ideal” dari kopi. Roni memahami itu dan memberikan pengarahan kepada para baristanya sebagai ujung tombak untuk berkomunikasi dengan para pelanggan.

“Menurut saya, barista harus pandai mengelola coffee shop sesuai segmen pasar. Jika ia memaksakan idealismenya sementara pasar tidak bisa menerima, dia akan repot sendiri. Di sisi lain, saya juga tidak mau seperti kopitiam. Meski menjual kopi, justru malah minuman lain seperti jus yang lebih laku. Lacamera segmennya adalah anak muda, tapi lama-lama segmen keluarga juga sudah mulai masuk.”

Salah satu tantangan yang kerap dijumpai Roni dan para baristanya adalah pelanggan berumur di atas 50. “Biasanya mereka akan komplain duluan. Ketika ditanya mereka mau kopi yang seperti apa, mereka akan menjawab ‘yang nendang, pahit’, mungkin maksudnya dark roast. Beberapa kali kopi kami dikembalikan karena mereka merasa kopi kami terlalu asam, tidak masalah. Tim saya akan membuatkan lagi, kami sudah tahu harus bikin yang seperti apa. Saya kira ini juga terjadi di coffee shop lain di Bandung.”

Kopi yang acid, bisa dibuat menjadi pahit, bisa dengan grind size yang diperhalus dan waktu ekstraksi  yang lebih lama. Yang repot adalah kopi pahit yang mau dibuat acid, saya kira agak susah,” canda Roni.



Terakhir, saya juga sempat membicarakan soal Barista Community Bandung dengan Roni. Komunitas beranggotakan 40 orang ini memiliki 3 kegiatan utama: mencicipi kopi, membahas cara seduh kopi manual, dan espresso & latte art. “Di Bandung jika tidak membuat latte art, kok rasanya seperti ada yang kurang,” kilahnya. FYI, Bandung terkenal sebagai penggemar latte art, baik pelanggan mau pun baristanya.

Meski total anggotanya 40, anggota yang aktif hanya sekitar 15-20 orang. Ketua komunitas ini akan berganti setiap 6 bulan, agar lebih cepat ada pembaharuan, kata Roni. “Jarak antar cafe di sini tidak terlalu jauh, sehingga komunitas semacam ini lebih aktif. Dulu saya sempat kerja di Jakarta, saya merasakan bahwa susah sekali bagi barista untuk berkumpul. Pulang kerja karena lelah terkena macet, bawaannya ingin tidur saja,” kata Roni.

Saya tidak mencicipi terlalu banyak kopi, bahkan tidak mencoba makanan di sini (malah lebih banyak ngobrolnya, pertanda sebuah coffee shop bagus sepertinya hehe). Saya mendapat kesan bahwa Lacamera sangat serius mengenai kopi. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Sebuah tempat yang wajib dikunjungi pecinta kopi jika sedang berada di Bandung.

Kesimpulan: Coffee shop dengan kopi unik yang didesain untuk dinikmati dalam waktu yang cukup lama




The Slow Starter
Frankly, I’m a little bit outdated about the growth of coffee shops in Bandung. Around 2 years ago, I was visitted Bandung at least once a month for work, and at that time, the concept of third wave was not that popular. After visiting Bandung some time ago, I just realized this vast development of the coffee shops.

When I heard the name Lacamera, I was thinking, “does it get something to do with Tanamera?” Actually Lacamera was established before Tanamera.

When I stepped into the coffee shop, I was not surprised but the industrial, unfinished interior that seems to be trending in coffee shops. Instead, I was astounded by Lacamera’s price list that is relatively cheaper than Jakarta’s coffee shops. You can have a cup of espresso with only Rp 15.000.

As usual, the seats in bar will always be a favorite for coffee lovers to communicate with baristas. Because of my choice of sitting place, I got acquainted to a young Bandung roaster, Dendi Hendra of Djourney.

“In Bandung, you can’t sell coffee more than Rp 30.000. If more, it’s got to be very special kind of coffee. For the milk based coffee, we start from Rp 20.000-Rp 25.000,” said Roni Muliawan, Lacamera’s Head Barista who is also a Chairman for Barista Community Bandung for January-June 2014.



For manual brew coffee, Lacamera offers 4-5 single origins a month. “I’ve been to 3 places that offers many single origins, we’re talking about 10-12 jars. They don’t roast it themselves, but they dare to have that many origins. Because I know the barista there, I know that there are only 3 single origins with good sales, the rest of them stay there for 2 months (no longer fresh)” said Roni.

Even though they also got beans from abroad, Lacamera is more concerned for our local bean. “We have it (imported bean), but people order them mainly because they’re curious about the flavor. These people tend to prefer coffee with low body and high acidity.”

The local bean with highest sales usually came from West Java, or they have natural or honey process. Lacamera’s customers want different sweetness from coffee, such as jackfruit, snake fruit, or ripe tomato.


Roni admitted that body is one of his main considerations. “If the body is high, I almost can’t drink it, I usually add water or sugar. I just can’t have it, maybe because I’ve been doctrinated. I used to make a lot of latte art, every day I have latte, but now, I got to have manual brew coffee. I still make latte art, but I give the latte to other.”

“I love smooth coffee, with pronounced acidity, balanced flavor, and most importantly, medium body. Meanwhile for bitterness, the dark chocolate note is the only acceptable one for me,” explained Roni who favors West Java bean such as Malabar and Gambung.

If he were to give only one bean, he would recommend naturally processed Ciwidey Gambung with filters like chemex, v60, or aeropress. “West Java coffee have medium body, but their weakness is that when we make cappuccino or latte, the coffee taste got lost in the mix. I prefer to enjoy these bean with filter because of their subtler taste.”

For the house blend, Lacamera mixes Toraja Pasongket, Bali Vintage and West Java Malabar to get high acidity and fruitiness. After tasting both the house blend espresso and filtered Gambung, I drew a conclusion: Lacamera coffee is designed to be enjoyed for a long time. It reminds me of the Germany’s national football team which takes some time to get heated.

In the beginning, both the espresso and filtered coffee is a bit flat.  Wait for 5 minutes, the acidity, fruitiness and other flavors of the coffee will bloom. It’s very“polite” coffee I guess (I know other coffee shops that has different approach, more straight forward, in-your-face approach, nothing bad about these, they're just different). The filtered Gambung, when brewed correctly, will give you the pleasant sweetness and acidity of blueberry, outstanding! It’s safe to say that Roni is successful in bringing the best of Gambung.



The Secret of Consistency
If you want to know further about the coffee characteristics, I suggest you don’t finish the coffee in a gulp. Sip it little by little to know the change in flavor when the temperature gradually drops. The thing is, while coffee from other coffee shops will have the unpleasant acidity and bitterness after 15-20 minutes, Roni’s coffee is more consitent, or even got better with time. I persuaded Roni to unveil his “secret”.

“I play in lower temperature, in 82o C. I’ve experimented with temperature, from 92o, 90o, 85o, 82o. With my ratio of coffee, water, time, and temperature, my coffee tasted best in 82o or 85o. Actually, using lower temperature has much bigger risk. If you got the wrong ratio, the taste will be ruined. I set the pouring time in 1,5 to 2 minutes, if it’s more than that, the taste will go flat. But I’m willing to take the risk,” Roni explained.



According to him, many of Lacamera’s coffee lovers order coffee, open their laptops, and forget about the coffee. Therefore, Roni designed coffee that has consistent flavor. Where did he get the idea?

“For a really long time, I was focused on latte art. In Lacamera, when I learn manual brew, I didn’t the correct standard brewing technique. But logically speaking, the coffee temperature will drop, right? If you don’t finish it straightaway, there’s time from hot, to warm, to cool. When I brew in 82o C, the gap won’t be as much. But when I brew in 92o C, I found that the temperature change caused inconsistency in flavor. I don’t what the experts say about this, but based on my logic and experience, many people love the coffee brewed in 82o,” he said.



Adapting to The Target Market
Of course, customers have their own preference on the “ideal” coffee taste. Roni understands it and he gave directions to his baristas to communicate with the customers.

“To me, a barista has to manage the coffee shop according to his target market. If he pushes his idealism while the market is not ready, he only creates troubles for himself. On the other hand, I also don’t want to be like kopitiam. Even though they sell coffee, people prefer other drinks, like juice. Lacamera’s target market is more for the young people, even though we have more and more from family segments.”

One of the main challenges faced by Roni and his baristas is the customers above 50. “They will complain. When asked what kind of coffee do they like, they’ll answer ‘the kicking, bitter’, possibly dark roast coffee. We have many cases of our coffee got returned because they're too acidic for them, but no problem. We will make another cup, we already know what kind of coffee we should make. I guess this also happens in other coffee shops in Bandung.”

We can make acidic coffee to be bitter, by using finer grind size, or make the extraction process longer. The problem is when you want bitter coffee to be acidic, it’s more difficult I guess,” he laughed. 


Lastly, I discussed about Barista Community Bandung . The community with 40 members has 3 main activities: coffee tasting, discussing about manual brew, and espresso & latte art. “In Bandung, if you don’t do latte art, it feels like something was missing.” FYI, Bandung is known to be a fan of latte art, both of its baristas or customers.

Even though they have 40 members, the current active ones are only 15-20. They will change the chairman every 6 months, “to keep it fresh,” said Roni. “The distance among coffee shops here is not that far, thus we have more active community. I was working in Jakarta, I felt it is so hard for baristas to gather. After going home from work, I just want to head straight to bed, maybe because of the traffic,” he said.
I didn’t have too many cups, I didn’t even taste any food here (I talked more than I drank, a sign of a good coffee shop I guess LOL). But I got the impression that Lacamera is very serious about coffee. They know what they’re doing. It’s a must-see coffee shop for any coffee lovers who visit Bandung.

Verdict: A coffee shop with unique coffee that is designed to be enjoyed for quite a long time.



Recommendations:
Ciwidey Gambung or any West Java bean with your choice of manual brew filter. If you see Roni Muliawan and you want to make him a happier man, order aeropress coffee, his favorite method.

House Blend: Toraja Pasongket, Bali Vintage and West Java Malabar

Lacamera Coffee
Jl. Naripan 79, Bandung
@LacameraCoffee