The
Slow Starter
Words & Photos: Edwin Pangestu
Jujur saja, saya agak ketinggalan mengenai perkembangan
coffee shop di daerah Bandung. Sekitar 2 tahun lalu, saya masih sering
bolak-balik Jakarta-Bandung untuk urusan kerja, dan saat itu konsep coffee shop
third wave belum terlalu populer. Setelah mengunjungi Bandung belum lama ini, saya tidak menyangka perkembangannya sudah begitu pesat.
Waktu pertama kali mendengar nama Lacamera,
saya malah langsung berpikir, “apa hubungannnya dengan Tanamera yah?” Padahal
Lacamera justru berdiri lebih dulu dari Tanamera.
Pertama kali menginjak kaki ke Lacamera, saya
tidak terlalu terkejut dengan interior bernuansa industrial yang tampaknya lagi
tren di kalangan coffee shop. Saya malah terkejut dengan harga kopi di sini
yang relatif lebih murah daripada harga kopi di Jakarta. Secangkir espresso
saja harganya Rp 15.000/cangkir.
Tentu saja tempat duduk di bar akan selalu menjadi
favorit penggemar kopi agar dapat lebih mudah berkomunikasi dengan barista.
Karena pilihan ini, saya malah beruntung bisa berkenalan dengan salah satu
roaster muda Bandung, Dendi Hendra dari Djourney.
“Di Bandung, harga kopi tidak bisa lebih dari Rp
30.000, jika lebih dari itu, biasanya kopinya sudah sangat istimewa. Untuk kopi
milk based, kami menjual dari harga Rp 20.000-Rp 25.000,” kata Roni Muliawan,
Head Barista Lacamera yang juga menjabat sebagai ketua Barista Community
Bandung periode Januari-Juni 2014.
Untuk kopi manual brew, Lacamera sengaja hanya
menyediakan maksimal 4-5 single origin per bulan. “Saya pernah ke 3 cafe yang
menjual banyak pilihan single origin, hingga 10-12 toples. Mereka tidak
produksi (roasting) kopi sendiri, tapi mereka berani memajang sebanyak itu.
Karena saya kenal baristanya, saya tahu hanya ada sekitar 3 single origin yang
penjualannya tinggi, selebihnya sudah di sana lebih dari 2 bulan (tidak fresh
lagi),” jelas Roni.
Meski menyediakan banyak kopi dari luar negeri,
Lacamera mengaku lebih concern terhadap kopi lokal. “Bean dari luar tentu saja
ada, pelanggan biasanya memesan lebih karena penasaran seperti apa rasanya.
Mereka biasanya adalah penggemar profil kopi yang low body dan high acidity.”
Bean lokal yang penjualannya paling tinggi adalah yang
berasal dari Jawa Barat dan yang prosesnya natural atau honey. Roni mengaku
pelanggan Lacamera menginginkan rasa manis dari aroma yang berbeda, seperti aroma nangka, salak, atau
tomat matang.
Roni sendiri mengaku body adalah salah satu hal
terpenting yang ia nilai dari kopi. “Jika bodynya sudah tinggi, saya hampir
tidak bisa minum, biasanya saya tambahkan gula atau air putih, tidak kuat saja,
mungkin karena sudah terdoktrin. Dulu saya senang sekali membuat latte art,
tiap pagi saya minum latte, tapi sekarang, rasanya tiap pagi saya harus minum
kopi manual brew. Sekarang saya masih bikin latte art sih, tapi kopinya saya
kasih orang lain.”
|
Roni Muliawan |
“Saya suka kopi yang smooth, aciditynya lebih keluar,
flavornya balance, dan yang terpenting medium body. Sementara untuk bitterness,
yang paling enak buat saya adalah dark chocolate, selain itu saya tidak bisa
minum,” tutur Roni yang menobatkan bean dari Jawa Barat yaitu Malabar dan
Gambung sebagai favoritnya.
Jika hanya boleh memilih satu bean untuk rekomendasi,
Roni memilih kopi dari Ciwidey, Gambung dengan proses natural yang diseduh
dengan chemex, V60, atau aeropress. “Kopi Jawa Barat itu karakter bodynya
memang medium, tapi kelemahannya adalah, ketika dibuat cappuccino atau latte,
rasanya akan kalah dominan. Bagusnya sih bean Jawa Barat dinikmati dengan cara
filter karena rasanya lembut.”
Sementara untuk
house blend, Lacamera mencampur kopi Toraja Pasongket, Bali Vintage, dan Jawa
Barat Malabar untuk mendapatkan profil high acidity dengan rasa fruity yang
lebih menonjol. Setelah mencicipi espresso house blend dan kopi Gambung yang
diseduh menggunakan chemex, saya bisa mengambil kesimpulan: kopi Lacamera
sengaja didesain untuk tidak langsung diminum. Mengingatkan saya dengan timnas sepakbola
Jerman yang terkenal lama panasnya.
Pada awalnya, baik espresso mau pun kopi filternya
mungkin terasa agak flat. Namun setelah sekitar 5 menit, acidity, fruitiness,
dan flavor lain dari kopi akan mulai mendominasi. Sangat sopan (saya tahu kopi
dari tempat lain yang pendekatannya lebih straight forward, in-your-face, tidak ada yang buruk soal ini hanya berbeda saja). Kopi
Gambung filter malah memiliki rasa manis dan asam yang mirip dengan blueberry,
luar biasa. Roni sukses menonjolkan rasa terbaik dari kopi Gambung ini.
Rahasia
dari Konsistensi Rasa
Jika Anda ingin mengetahui karakter sebuah kopi, ada
baiknya Anda tidak langsung menghabiskannya. Nikmati sedikit demi sedikit
hingga beberapa saat untuk mengetahui perubahan rasanya ketika mengalami
penurunan suhu. Dan yang menjadi catatan saya adalah, sementara kopi di tempat
lain akan semakin acid dan pahit setelah 15-20 menit, rasa kopi seduhan Roni
ini tetap konsisten, bahkan makin enak, tentunya hingga titik tertentu. Saya mencoba merayu Roni untuk membuka “rahasia”nya.
“Saya bermain di suhu rendah, yaitu di 82o
C. Saya sudah bereksperimen di suhu mulai dari 92o, 90o,
85o, 82o. Ternyata dengan perbandingan jumlah bubuk kopi,
air, waktu dan temperatur air, kopi seduhan saya terasa lebih enak di 82o
dan 85o. Sebetulnya bermain di suhu rendah lebih beresiko, jika
perbandingannya salah, rasanya akan hancur. Saya sengaja mengatur waktu pouring
di 1,5 hingga 2 menit. Jika lebih dari 2 menit, saya merasa rasanya lebih flat,
gak dapet. Tapi saya ambil resiko itu,” kata Roni.
Menurutnya, banyak penggemar kopi Lacamera yang memesan
kopi, buka laptop, lalu melupakan kopinya. Oleh sebab itu, Roni sengaja
mendesain kopi yang rasanya tetap konsisten. Dari mana
Roni mendapatkan ide seperti itu?
“Saya dulu lebih fokus ke latte art, sudah lama sekali.
Di sini ketika bermain manual brew, awalnya saya tidak tahu bagaimana standar
penyeduhan yang benar. Tapi secara logika saja, semakin lama suhu kopi akan
semakin turun kan? Jika Anda tidak minum langsung habis, ada jeda dari panas,
hangat, lalu dingin. Ketika saya menyeduh di suhu 82o C, jaraknya tidak terlalu jauh. Di suhu 92o C, yang saya rasakan adalah
perubahan suhu mengakibatkan perubahan rasa yang tidak konsisten. Saya tidak
tahu apa pendapat para ahli kopi tentang ini, tapi berdasarkan logika dan pengalaman saya,
banyak yang suka dengan kopi seduhan
saya di suhu 82o,” ungkapnya.
Menyesuaikan
Pangsa Pasar
Tentu saja, penggemar kopi memiliki preferensinya
sendiri mengenai rasa “ideal” dari kopi. Roni memahami itu dan memberikan
pengarahan kepada para baristanya sebagai ujung tombak untuk berkomunikasi
dengan para pelanggan.
“Menurut saya, barista harus pandai mengelola coffee
shop sesuai segmen pasar. Jika ia memaksakan idealismenya sementara pasar tidak
bisa menerima, dia akan repot sendiri. Di sisi lain, saya juga tidak mau
seperti kopitiam. Meski menjual kopi, justru malah minuman lain seperti
jus yang lebih laku. Lacamera segmennya
adalah anak muda, tapi lama-lama segmen keluarga juga sudah mulai masuk.”
Salah satu tantangan yang kerap dijumpai Roni dan para baristanya
adalah pelanggan berumur di atas 50. “Biasanya mereka akan komplain duluan. Ketika
ditanya mereka mau kopi yang seperti apa, mereka akan menjawab ‘yang nendang,
pahit’, mungkin maksudnya dark roast. Beberapa kali kopi kami dikembalikan
karena mereka merasa kopi kami terlalu asam, tidak masalah. Tim saya akan
membuatkan lagi, kami sudah tahu harus bikin yang seperti apa. Saya kira ini
juga terjadi di coffee shop lain di Bandung.”
“Kopi yang acid, bisa dibuat menjadi pahit, bisa dengan
grind size yang diperhalus dan waktu ekstraksi
yang lebih lama. Yang repot adalah kopi pahit yang mau dibuat acid, saya
kira agak susah,” canda Roni.
Terakhir, saya juga sempat membicarakan soal Barista
Community Bandung dengan Roni. Komunitas beranggotakan 40 orang ini memiliki 3
kegiatan utama: mencicipi kopi, membahas cara seduh kopi manual, dan espresso
& latte art. “Di Bandung jika tidak membuat latte art, kok rasanya seperti
ada yang kurang,” kilahnya. FYI, Bandung terkenal sebagai penggemar latte art,
baik pelanggan mau pun baristanya.
Meski total anggotanya 40, anggota yang aktif hanya
sekitar 15-20 orang. Ketua komunitas ini akan berganti setiap 6 bulan, agar
lebih cepat ada pembaharuan, kata Roni. “Jarak antar cafe di sini tidak terlalu
jauh, sehingga komunitas semacam ini lebih aktif. Dulu saya sempat kerja di
Jakarta, saya merasakan bahwa susah sekali bagi barista untuk berkumpul. Pulang
kerja karena lelah terkena macet, bawaannya ingin tidur saja,” kata Roni.
Saya tidak mencicipi terlalu banyak kopi, bahkan tidak
mencoba makanan di sini (malah lebih banyak ngobrolnya, pertanda sebuah coffee shop bagus sepertinya hehe). Saya mendapat kesan bahwa Lacamera sangat serius
mengenai kopi. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Sebuah tempat yang wajib
dikunjungi pecinta kopi jika sedang berada di Bandung.
Kesimpulan: Coffee
shop dengan kopi unik yang didesain untuk dinikmati dalam waktu yang cukup lama
The
Slow Starter
Frankly, I’m a little bit outdated about the growth of
coffee shops in Bandung. Around 2 years ago, I was visitted Bandung at least
once a month for work, and at that time, the concept of third wave was not that
popular. After visiting Bandung some time ago, I just realized this vast development of the coffee shops.
When I heard the name Lacamera, I was thinking, “does it get something
to do with Tanamera?” Actually Lacamera was established before Tanamera.
When I stepped into the coffee shop, I was not
surprised but the industrial, unfinished interior that seems to be trending in
coffee shops. Instead, I was astounded by Lacamera’s price list that is
relatively cheaper than Jakarta’s coffee shops. You can have a cup of espresso
with only Rp 15.000.
As usual, the
seats in bar will always be a favorite for coffee lovers to communicate with
baristas. Because of my choice of sitting place, I got acquainted to a young Bandung
roaster, Dendi Hendra of Djourney.
“In Bandung, you can’t sell coffee more than Rp 30.000.
If more, it’s got to be very special kind of coffee. For the milk based coffee,
we start from Rp 20.000-Rp 25.000,” said Roni Muliawan, Lacamera’s Head Barista
who is also a Chairman for Barista Community Bandung for January-June 2014.
For manual brew coffee, Lacamera offers 4-5 single
origins a month. “I’ve been to 3 places that offers many single origins, we’re
talking about 10-12 jars. They don’t roast it themselves, but they dare to have
that many origins. Because I know the barista there, I know that there are only
3 single origins with good sales, the rest of them stay there for 2 months (no
longer fresh)” said Roni.
Even though they also got beans from abroad, Lacamera
is more concerned for our local bean. “We have it (imported bean), but people
order them mainly because they’re curious about the flavor. These people tend to
prefer coffee with low body and high acidity.”
The local bean with highest sales usually came from
West Java, or they have natural or honey process. Lacamera’s customers want
different sweetness from coffee, such as jackfruit, snake fruit, or ripe
tomato.
Roni admitted that body is one of his main
considerations. “If the body is high, I almost can’t drink it, I usually add
water or sugar. I just can’t have it, maybe because I’ve been doctrinated. I
used to make a lot of latte art, every day I have latte, but now, I got to have
manual brew coffee. I still make latte art, but I give the latte to other.”
“I love smooth coffee, with pronounced acidity,
balanced flavor, and most importantly, medium body. Meanwhile for bitterness,
the dark chocolate note is the only acceptable one for me,” explained Roni who
favors West Java bean such as Malabar and Gambung.
If he were to give only one bean, he would recommend naturally
processed Ciwidey Gambung with filters like chemex, v60, or aeropress. “West
Java coffee have medium body, but their weakness is that when we make
cappuccino or latte, the coffee taste got lost in the mix. I prefer to enjoy
these bean with filter because of their subtler taste.”
For the house blend, Lacamera mixes Toraja Pasongket,
Bali Vintage and West Java Malabar to get high acidity and fruitiness. After
tasting both the house blend espresso and filtered Gambung, I drew a conclusion:
Lacamera coffee is designed to be enjoyed for a long time. It reminds me of the
Germany’s national football team which takes some time to get heated.
In the beginning, both the espresso and filtered coffee
is a bit flat. Wait for 5 minutes, the
acidity, fruitiness and other flavors of the coffee will bloom. It’s very“polite”
coffee I guess (I know other coffee shops that has different approach, more
straight forward, in-your-face approach, nothing bad about these, they're just different). The filtered Gambung, when brewed correctly,
will give you the pleasant sweetness and acidity of blueberry, outstanding! It’s
safe to say that Roni is successful in bringing the best of Gambung.
The
Secret of Consistency
If you want to know further about the coffee
characteristics, I suggest you don’t finish the coffee in a gulp. Sip it little
by little to know the change in flavor when the temperature gradually drops.
The thing is, while coffee from other coffee shops will have the unpleasant
acidity and bitterness after 15-20 minutes, Roni’s coffee is more consitent, or
even got better with time. I persuaded Roni to unveil his “secret”.
“I play in lower temperature, in 82o C. I’ve
experimented with temperature, from 92o, 90o, 85o,
82o. With my ratio of coffee, water, time, and temperature, my
coffee tasted best in 82o or 85o. Actually, using lower
temperature has much bigger risk. If you got the wrong ratio, the taste will be
ruined. I set the pouring time in 1,5 to 2 minutes, if it’s more than that, the
taste will go flat. But I’m willing to take the risk,” Roni explained.
According to him, many of Lacamera’s coffee lovers order
coffee, open their laptops, and forget about the coffee. Therefore, Roni
designed coffee that has consistent flavor. Where did
he get the idea?
“For a really long time, I was focused on latte art. In
Lacamera, when I learn manual brew, I didn’t the correct standard brewing
technique. But logically speaking, the coffee temperature will drop, right? If
you don’t finish it straightaway, there’s time from hot, to warm, to cool. When
I brew in 82o C, the gap won’t be as much. But when I brew in 92o
C, I found that the temperature change caused inconsistency in flavor. I don’t
what the experts say about this, but based on my logic and experience, many
people love the coffee brewed in 82o,” he said.
Adapting
to The Target Market
Of course, customers have their own preference on the “ideal”
coffee taste. Roni understands it and he gave directions to his baristas to
communicate with the customers.
“To me, a barista has to manage the coffee shop
according to his target market. If he pushes his idealism while the market is
not ready, he only creates troubles for himself. On the other hand, I also don’t
want to be like kopitiam. Even though they sell coffee, people prefer other
drinks, like juice. Lacamera’s target market is more for the young people, even
though we have more and more from family segments.”
One of the main challenges faced by Roni and his
baristas is the customers above 50. “They will complain. When asked what kind
of coffee do they like, they’ll answer ‘the kicking, bitter’, possibly dark
roast coffee. We have many cases of our coffee got returned because they're too
acidic for them, but no problem. We will make another cup, we already know what
kind of coffee we should make. I guess this also happens in other coffee shops
in Bandung.”
“ We can make acidic coffee to be bitter, by using
finer grind size, or make the extraction process longer. The problem is when
you want bitter coffee to be acidic, it’s more difficult I guess,” he laughed.
Lastly, I discussed about Barista Community Bandung .
The community with 40 members has 3 main activities: coffee tasting, discussing
about manual brew, and espresso & latte art. “In Bandung, if you don’t do
latte art, it feels like something was missing.” FYI, Bandung is known to be a
fan of latte art, both of its baristas or customers.
Even though they have 40 members, the current active
ones are only 15-20. They will change the chairman every 6 months, “to keep it
fresh,” said Roni. “The distance among coffee shops here is not that far, thus we
have more active community. I was working in Jakarta, I felt it is so hard for
baristas to gather. After going home from work, I just want to head straight to
bed, maybe because of the traffic,” he said.
I didn’t have too many cups, I didn’t even taste any
food here (I talked more than I drank, a sign of a good coffee shop I guess LOL). But I got the impression that Lacamera is very serious about coffee.
They know what they’re doing. It’s a must-see coffee shop for any coffee lovers
who visit Bandung.
Verdict:
A coffee shop with unique coffee that is designed to be enjoyed for quite a
long time.
Recommendations:
Ciwidey Gambung or any West Java bean with your choice
of manual brew filter. If you see Roni Muliawan and you want to make him a happier man,
order aeropress coffee, his favorite method.
House
Blend: Toraja Pasongket, Bali Vintage and West Java Malabar
Lacamera
Coffee
Jl. Naripan 79, Bandung
@LacameraCoffee