Sunday, March 30, 2014

Bobho: The Tattooed Barista Girl is Getting Serious About Coffee





Saat masih kerja di salah satu grup majalah yang letaknya persis di samping Tanamera Coffee, saya cukup kaget melihat sosok wanita berambut hitam, bercampur merah dan hijau, dengan tato di seluruh tangannya. “Siapa tuh Ga? Barista baru?” tanya saya kepada Muhammad Aga, head barista Tanamera pada pertengahan Februari lalu. “Iya, ex-barista X (salah satu cafe ternama di Jakarta), tapi tastenya oke kok,” jawab Aga.

Barista sangar namun ramah ini bernama Debora Ayu Ibrahim, atau biasa dipanggil Bobho. Ia sempat menanyakan nama saya, sebelum sempat menjawab, ia menyambar, “gue panggil lo Yoko aja yah?” Wah seenaknya aja nih anak, kata saya dalam hati. Tapi tidak apa-apalah, ketika orang mengatakan saya mirip Yoko (tokoh utama Return of the Condor Heroes) yang diperankan oleh orang seganteng Andy Lau, rasanya saya malah harus bangga. Berikut ini adalah pembicaraan saya dengan Bobho mengenai latar belakang dan pengalamannya bekerja di sebuah coffee shop yang serius:

Sebelum jadi barista, Anda sibuk apa saja?
Sebelumnya saya sempat kerja di retail custom T-Shirt, kemudian kerja di sebuah distro di daerah Tebet. Saya sempat bekerja di bidang saham juga, padahal saya kuliah jurusan Broadcast.

Wah agak ngawur juga yah? Terus bagaimana ceritanya Anda bisa jadi barista?
Sebelumnya saya pernah interview hingga 5 kali di salah satu coffee shop paling ternama. Sebetulnya saya sudah diterima, tinggal serah terima seragam dan apron, tapi setelah mengaku saya memiliki tato, saya tidak jadi diterima. Memang peraturan perusahannya begitu. Saya sudah membuat tato sejak lulus SMA, pada 2008. Kemudian saya melamar di suatu perusahaan promotor musik, tapi sedang tidak ada slot kosong. Kebetulan, mereka (perusahaan yang juga bergerak di bidang F&B) sedang mencari barista. Akhirnya saya diterima di coffee shop tersebut sebagai opening team, setelah mencoba menjadi barista, ternyata asyik juga. Awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang kopi, tapi di sana saya diajari manual brew, cold brew, syphon, membuat espresso, dsb.

  
Itu teknisnya kan? Apa lagi yang Anda dapat di sana?
Sebenarnya di sana saya tidak mendapatkan pengetahuan tentang kopi karena tidak ada waktu. Outletnya selalu sibuk setiap hari. Di Tanamera, saya belajar cara bikin kopi yang benar secara lebih spesifik dan detail, mulai dari latte art, frothing susu, pengetahuan tentang kopi. Banyak sekali sih bedanya, jomplang banget. Sebelumnya saya tahunya kopi itu pahit saja, entah dibuat untuk espresso atau milk based lainnya. Di sini, setiap pagi kami melakukan coffee tasting sehingga saya mulai bisa merasakan flavor-flavor kopi. Selain itu lingkungan di Tanamera juga mendukung karena ada coffee roaster, lalu tidak ada gap dengan pelanggan.

Memangnya dulu ada gap seperti apa?
Dulu kami hanya boleh ngobrol di counter saja, ketika pelanggan memesan kopi, selebihnya tidak boleh. Mungkin maksud perusahaan, “untuk apa lo lama-lama ngobrol sama pelanggan? Sedangkan kerjaanlo masih banyak.” Kurang friendly lah istilahnya.

Dari sisi segmentasi pelanggan, apakah di Tanamera beda jauh dengan tempat Anda sebelumnya?
Bedalah kak, di sini kebanyakan orang yang datang memang suka dan mengerti soal kopi. Sementara di tempat lama, pelanggan lebih ingin nongkrong, mereka biasa pesan ice blended. Tadinya saya biasa ngopi di salah satu cafe ternama, menurut saya rasanya sudah enaklah. Di tempat lama, saya memang merasa kopinya lebih enak. Tapi ketika masuk ke Tanamera, saya langsung merasa, “terus yang saya minum kemarin itu apa yah?” Bukan bermaksud menjelek-jelekkan, tapi bedanya jauh sekali.

  
Saya curiga Anda diterima di sini justru karena memiliki tato. (FYI, Aga juga penggemar tato, ia memiliki tato di tangannya, dan mungkin di bagian tubuh lainnya)
Pertamanya sih begitu, memang Aga ingin mencari barista perempuan yang bertato. Ia sempat melihat saya di tempat kerja lama saya bersama Ibu Dini (pemilik Tanamera). Lalu tanpa saya sadari, ternyata mereka sedang melakukan interview. Katanya sih, Ibu Dini suka karena saya ngomong terus.

Sebagai barista, bagaimana Anda tahu jika Anda sudah melakukan pekerjaan anda dengan baik?
Ketika kopi yang saya buat sesuai dengan rasa kopi itu seharusnya. Contohnya, ketika saya membuat manual brew, tasting note seharusnya adalah orange, strawberry, nutty atau chocolaty. Ketika saya selesai membuat, sharing ke pelanggan, dan mereka merasakan note tersebut, saya merasa saya sudah melakukan pekerjaan saya dengan baik.
  
Sejauh ini, apakah Anda sudah memiliki minat khusus, mungkin latte art atau manual brew misalnya?
Masih belom sih. Tapi Aga mendorong saya untuk ikut kompetisi tahun depan, mau latte art atau manual brew, terserah saja, tapi saya harus mengerti soal kopi dari sekarang. Masih belum nyampelah kak, saya tidak mikir ke situ deh.

Bagaimana dengan profil kopi favorit Anda?
Tasting note maksudnya? Kalo saya sih memang tidak terlalu suka acid, seperti orang Indonesia kebanyakan. Saya suka kopi yang yang light, sweet tapi clean aftertaste, contohnya Aceh Gayo. Awalnya memang agak acid, tapi kan setelah itu aftertastenya clean. Saya juga suka manual brew yang dicampur es batu, ternyata enak loh. Paling tidak menurut saya, mungkin saya sok tahu atau gimana, tapi rasanya lebih light, jadi tambah asyik, enak gitu.






When I was still working at a magazine group, located next to Tanamera Coffee, I was quite surprised by the presence of a woman with black, red, green hair, with tattoo all over her arms. “Who’s that? A new barista?” I asked Muhammad Aga, the head barista of Tanamera on the middle of February. “Yes, she was ex-barista X (one of popular coffee shops in Jakarta), but she has good taste,” Aga answered.

The slightly scary, but actually friendly barista is Debora Ayu Ibrahim, aka Bobho. She also asked my name, but before I replied, she said, “let me call you Yoko, okay?” What the..... but then I thought it’s actually a good thing. When people said that you look like Yoko (the main character of Return of the Condor Heroes), starred by handsome actor like Andy Lau, you take that as compliment. Here is my interview with Bobho about her background and her new experience working in a serious coffee shop:

Before you become a barista, what were you doing?
I was working in retail custom T-shirt company, and then in a distro in Tebet. I’ve worked in stock also, even though I majored in Broadcast.

Well, it’s quite out of track, isn’t it? How did you finally become a barista?
I’ve been interviewed 5 times in one of the most popular coffee shops. Actually, I already got the job, I just need to get the uniform and apron, but after telling them that I have tattoo, they turned me down. They don’t allow employees with tattoo. I got the tattoo since I graduated from high school, in 2008. Then I applied for a music promotor company, but there’s no vacancy. Instead, they (the company is also doing F&B business) need barista. Finally I got the job in that coffee shop as opening team. After a while, I the job as a barista, even though I didn’t have any knowledge about coffee beforehand. I learned basic manual brew, cold brew, syphon and making espresso, etc.

That’s the technical part right? What else you’ve got there?
Actually, I didn’t get too much knowledge on coffee because there’s no time. The outlet was very busy every day. In Tanamera, I learn how to make coffee in more detailed, specific ways, from latte art, milk frothing, to other knowledge about coffee. The difference is night and day. Before working here, I only knew coffee is bitter, either for espresso or any other milk-based coffee. In here, every morning we do the coffee tasting so I can start to taste different flavors and tasting notes. The environment is also better for learning, in fact we have a coffee roaster here, there’s also no gap between baristas and customers.

What sort of gaps did you have back then?
We were only allowed to talk to customers in the counter, that’s when they ordered their coffee, other than that, you can’t. The company was like, “what’s the point of chatting with customers while you have other jobs to do.” Not too friendly, I guess.

From the customer segmentation, how far is the difference between Tanamera’s customers and your previous workplace?
Very different, in here most of the customers are coffee lovers who know about coffee. Meanwhile, at previous place, the customers just wanted to hang out, most of the times they ordered ice blended drinks. I was used to the taste of one of the most popular coffee shops’ coffee, I thought theirs was good enough. And then, in my previous place, it was better. Now, I’m like, “what was I drinking all this time?” I don’t mean to badmouth anybody, but the difference is that huge.



You know, I suspect you got the job here because you have tattoo. (FYI, Aga also a tattoo fan, he also got tattoo on his hands, and possibly in other parts of his body)
It’s true. Aga wanted a female barista with tattoo. He came to my previous workplace with Mrs. Dini (the owner of Tanamera). Unknowingly, the chat was actually an interview. Some people said that Mrs. Dini liked me because I was very talkative.

As a barista, how can you tell that you’ve done a good job?
When I brew the coffee like it should be. For instance, when I make manual brew, the ideal tasting notes should be whether orange, strawberry, nutty, or chocolaty. When I finished brewing and the customers tasted those notes, I felt I’ve done a good job.

 Have you developed any specific interests in coffee? You know, latte art or manual brew perhaps?
Actually, not yet. But Aga pushes me to get into competition next year, whether it’s latte art competition or manual brew, any competitions, but I got to learn more about coffee from now on. I don’t think I’m there yet, I haven’t think much about it.

What’s your favorite coffee taste profile?
The tasting notes? I don’t enjoy acid that much, just like most of Indonesians. I like light, sweet coffee with clean aftertaste, such as Aceh Gayo. I know it’s acidic in the beginining, but it has that beautiful, clean aftertaste. I also like to put ice cube in manual brew coffee, it’s nice you know. At least to me, it feels lighter, nicer, very tasty.



  

Tuesday, March 18, 2014

5 Tips to Cook Steak by Christer Foldnes


Words & Photos : Edwin Pangestu

Hingga saat ini, steak masih menjadi pilihan favorit para karnivor sejati di seluruh dunia. Pria mana yang sanggup menolak sepotong T-bone steak dengan tingkat kematangan medium rare? Apalagi jika ditambah segelas red wine Shiraz.

Tentu tidak semua restoran mampu menghadirkan steak yang enak, namun kabar baiknya, potongan daging lezat ini begitu mudah diolah sehingga Anda pasti bisa membuatnya sendiri di rumah. Apalagi jika Anda mengikuti 5 tips Chef Christer Foldnes, Executive Sous Chef C’s Steak & Seafood.

1. Jangan Pelit
Anda boleh berhemat untuk makanan lain, namun kali ini saja, siapkan dana lebih untuk membeli daging berkualitas. Steak yang baik tidak perlu bersembunyi dibalik saus tambahan. Oleh sebab itu, kualitas daging sapi sangat mempengaruhi rasa secara keseluruhan.

2. Fat is taste
Tenderloin adalah jenis potongan yang paling populer karena kadar lemaknya paling rendah dan teksturnya paling empuk. Namun sirloin memiliki rasa yang lebih gurih karena mengandung lebih banyak lemak, begitu pula ribeye. Seperti yang dibilang banyak orang, fat is taste.

3. Pemanasan
Jangan langsung memanggang steak langsung dari kulkas. Jika Anda melakukannya, distribusi panas tidak akan merata. Ketika bagian luar steak sudah matang, bagian dalamnya akan masih mentah. Sangat memungkinkan terjadinya overcook. Biarkan daging pada suhu ruangan selama 1 jam terlebih dahulu.

4. Panaskan Pancinya
Kesalahan yang sering terjadi adalah Anda tidak memanaskan panci terlebih dahulu. Panas tinggi memungkinkan terjadinya karamelisasi untuk mendapatkan permukaan golden crust. Dari sana rasa yang benar-benar enak Anda dapatkan. Setelah mendapat golden crust, panas boleh diturunkan hingga mencapai tingkat kematangan steak yang diinginkan.

5. Waktu Istirahat
Ini salah satu bagian terpenting. Biarkan daging untuk beristirahat selama sekitar 5 menit setelah dipanggang agar jus dagingnya kembali terserap ke dalam steak sehingga menghasilkan rasa dan tekstur yang lebih baik.

Tentang Christer Foldnes
Sejak kecil, Christer Foldnes mengidolakan pamannya yang juga seorang chef. Keahliannya memasak membawanya dari Norwegia, ke Denmark, hingga akhirnya menetap di C’s Steak & Seafood, Grand Hyatt, Indonesia.

Selain steak, salah satu keahlian utama Christer adalah dalam mengolah seafood. Ia pernah memenangkan kompetisi seafood di 2009 dengan menggunakan bahan-bahan secara acak di dalam mystery box. Baginya seafood sangat menarik karena memiliki banyak ragam tipe ikan, rasa, dan cara masak. Pada seafood, batas antara perfectly cooked dan overcooked sangat tipis. Sementara orang lain agak takut memasak seafood, Christer justru merasa tertantang.

Salah satu mitos yang salah mengenai Norwegia adalah mengenai konsumsi salmon. Meski dikenal sebagai salah satu eksportir salmon terbesar di dunia, Christer mengaku bahwa orang Norwegia lebih sering makan daging lain.

Berbeda dengan tempat lain, di C’s Steak & Seafood Anda bisa menciptakan menu Anda sendiri. Anda dapat memilih jenis daging, cara masak, dan side dish sesuai selera. Tentu bagi kebanyakan chef lain hal ini cukup merepotkan, tapi saya sudah bilang kan, bahwa Christer menyukai tantangan?



Until today, steak would still be the favorite of true carnivores all over the world. Which men have the power to resist a big slice of medium rare T-Bone steak? Add a glass of Shiraz to the table and call it perfect dinner.

Not all of the restaurants serve good steak, but the good news is, the delicious meat cut is so easy to be prepared at your home. Let alone if you follow these 5 tips from Chef Christer Foldnes, Executive Sous Chef of C’s Steak & Seafood.

1. Don’t Be Stingy
You can save your money somewhere else, but please, for this time, allocate more budget to buy quality cut. A good steak doesn’t have to hide behind any condiments. Therefore, the quality of the beef plays major part in affecting the whole taste.

 2. Fat Is Taste
Tenderloin might be the most popular cut due to its lowest fat content and its tenderness, but sirloin has better taste because it has more fat, so does rib eye. Like everybody else is saying, fat is taste.

3. Warming Up
Don’t grill the steak straight from fridge. If you do that, the heat distribution will not be even. When the outer meat is cooked enough, the inside will still be rare. There’s a good chance to have overcooked steak. Let the meat warm up for approximately 1 hour.

4. Heat the pan
The most common mistakes is not to preheat the pan. Low heat allows caramelization to get the golden crust. It’s where the really good taste comes from. After you get the golden crust, you may reduce the heat until you reach the desired doneness.

5. Let It Rest
This is one of the most important part. Let the steak rest for 5 minutes after grilling to let the meat juice reabsorbed into the steak to give you better flavor and texture.

About Christer Foldnes
Since he was a little boy, Christer Foldnes has idolized his uncle, also a chef. His cooking skill brought him from Norwegia, to Denmark, and then to stay in C’s Steak & Seafood, Grand Hyatt, Indonesia.

Aside from steak, Christer is also really good in cooking seafood. He won a seafood competition in 2009 using random ingredients in mystery box. To him, seafood is very interesting because it has many kinds of fish, flavor, and cooking method. In seafood, the line between perfectly cooked and overcooked is very thin. While others may intimidated, Christer sees it as challenge.

One of the common myth about Norwegia is about salmon consumption. Although we know Norwegia as one of the biggest salmon producer and exporter, Christer admitted that Norwegians are eating other meat more often.

Different from other places, in C’s Steak & Seafood, you can create your own custom menu. You can choose the type of meat, the cooking method, and the side dish to your liking. It’s quite a hassle for other chefs indeed, but I’ve told you before, right? Christer loves challenge.

Monday, March 17, 2014

4 Components in Coffee Business by Ronald Prasanto



Ronald Prasanto

Words & Photos: Edwin Pangestu

Jauh sebelum dikenal sebagai orang pertama di dunia yang memadukan molecular gastronomy pada kopi, atau sebagai pendiri dessert bar Ron’s Laboratory, Ronald Prasanto adalah seorang coffee artist, tentunya sampai sekarang. Meski akhirnya ia lebih memilih jalan lain untuk mencintai kopi (maksudnya, sekarang ini ia tidak membuka coffee shop sendiri), Ronald memiliki pandangannya sendiri mengenai dunia kopi, terutama soal 4 komponen yang harus dikuasai para barista.

“Mungkin hanya butuh 1 hingga 2 bulan untuk mempelajari teknik dasar membuat espresso. Jika Anda ingin membuat 9 minuman berbasis espresso (macchiato, cappuccino, caffe latte, cafe mocha, americano, dsb), Anda hanya harus belajar cara membuat espresso dan steamed milk, itu saja. Namun seorang barista sejati harus bisa memiliki banyak skill lain: seperti membuat costing, bahkan memahami psikologi konsumen,” jelas Ronald.

Barista hanyalah bagian akhir dari proses panjang dari sebuah bisnis kopi. Ronald menuturkan bahwa ada 4 faktor utama yang menentukan kualitas secangkir kopi yang disajikan di depan Anda, mulai dari yang paling penting: barista, biji kopi, mesin kopi dan grinder.

1. Barista
Barista adalah faktor yang paling menentukan. Anda memberikan Michael Schumacher mobil Innova, sementara saya menggunakan F1. Jika kami balapan, saya yakin saya tetap akan kalah. Mirip kasusnya dengan barista. Seorang barista mahir dengan mesin yang jelek akan menghasilkan secangkir kopi yang lebih baik dari barista yang kurang mahir meski ia menggunakan mesin bagus.

Masalah utama pada barista Indonesia adalah, mereka cenderung jadi sok tahu. Saya lebih suka melatih seorang tanpa pengalaman daripada barista profesional. Beberapa coffee shop terkemuka juga percaya bahwa metode mereka adalah yang terbaik, jadi ini seperti mencuci otak para baristanya. 

Suatu hari, saya meminta barista dari sebuah coffee shop terkenal untuk membuat kopi sesuai selera saya. Entah mampu atau tidak, ia menolak melakukannya, karena menurut perusahaannya, metode mereka adalah yang terbaik. Jika itu terjadi, biasanya saya pesan air panas, dan menyeduh sendiri kopi tubruk saya.

Saya percaya tidak ada yang namanya “metode terbaik” dalam membuat kopi, karena setiap orang punya preferensinya masing-masing. Oleh sebab itu, seorang barista harus selalu berpikiran terbuka terhadap semuanya.

Doddy Samsura, a good barista? No, a champion barista!


2. Biji Kopi
Indonesia memiliki banyak sekali biji kopi, dengan karakteristiknya masing-masing. Tentu saja ada panduan soal karakter rasa dari setiap biji kopi. Sekitar 7 tahun lalu, saya mencoba menghafalnya, namun saya suka bereksperimen. Jika Anda mengubah profil roastingnya, karakternya akan berubah secara keseluruhan. Kemungkinannya tidak terbatas.

Saya tidak menyarankan Anda untuk menghafalnya, tapi sebaiknya Anda bereksperimen. Barista yang baik tahu cara untuk menonjolkan karakter alami dari biji kopi sambil meminimalisasi karakter negatif dari biji kopi.

Salah satu masalah para pelaku industri kopi adalah: sebagian besar orang Indonesia terbiasa minum kopi instan. Tidak heran banyak yang protes ketika melihat harga kopi premium. Ini terjadi setiap saat. Jika ada yang komplain, saya menjelaskan bahwa di perkebunan kopi, ada ratusan orang yang dipekerjakan untuk memetik buah kopi kemudian menyeleksi biji kopi. Proses ini harus dilakukan secara manual untuk mendapatkan biji kopi terbaik. Semuanya ini merupakan proses yang mahal dan melelahkan.

Beberapa perusahaan kopi instan menggunakan biji kopi kualitas rendah, bahkan ada yang menambahkan jagung, beras, atau bahan kimia ke dalam kopi. Parahnya, lidah kita sudah terbiasa dengan rasa seperti itu kan?

3. Mesin Kopi
Jika berbicara tentang mesin kopi, pertanyaan utamanya adalah: seberapa cepat Anda ingin menyajikan kopi? Saya lihat banyak coffee shop yang membeli mesin dengan 3-4 grouphead cuma karena terlihat lebih keren. Harus dipertimbangkan juga listriknya. Sebagai gambaran, jika 1 grouphead memakan daya 2.000 watt, tentunya dengan mesin 4 grouphead Anda membutuhkan 8.000 watt, ditambah 500 watt untuk cadangan.

Salah seorang teman saya, seorang pemilik restoran sushi, minta rekomendasi mesin kopi. Saya bilang saja, “jika penjualan Anda tidak sampai 5 cangkir setiap hari, ngapain juga mempekerjakan barista profesional? Pakai saja mesin kopi otomatis."

Memahami mesin kopi merupakan salah satu tanggung jawab barista. Seorang barista harus bisa membongkar dan memasang mesin kopi untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil.


 
4. Grinder
Idealnya, kita membutuhkan waktu 20-30 detik untuk menyeduh espresso. Semakin sebentar durasinya, rasa kopi akan lebih lemah dan warna cremanya lebih muda, begitu pula sebaliknya. Durasi ideal yang dibutuhkan ditentukan dari kehalusan bubuk kopi.

Pada espresso, biasanya semakin kasar bubuk kopi akan semakin memudahkan uap air untuk menembus (durasi lebih cepat). Tidak ada aturan baku soal kehalusan dari bubuk kopi. Namun untuk espresso, saya sarankan bubuk kopi digiling sedikit lebih halus dari tekstur garam, sementara untuk kopi tubruk sebaiknya seperti gula pasir. Karena semakin lama kontak air dengan bubuk kopi, maka teksturnya harus semakin kasar.

Kualitas dari grinder juga sangat mempengaruhi hasil akhir. Grinder yang bagus akan menghasilkan bubuk kopi dengan ukuran  yang lebih konsisten, sementara jika menggunakan grinder yang kurang bagus, Anda harus menyetel ulang mesinnya setelah digunakan 50-100 kali.

manual grinder

4 Komponen dasar ini merupakan rangkaian akhir yang menjadi bagian dari proses panjang industri kopi. Seorang barista yang memahami keempat hal ini tentu akan semakin ahli untuk menghasilkan kopi yang baik. “Pada akhirnya kopi adalah sesuatu yang fun, jadi jangan terlalu serius mempelajarinya,” tutup Ronald.



 
Long before known as the first person in the world who applied molecular gastronomy to coffee, or as the founder of Ron’s Laboratory dessert bar, Ronald Prasanto is a coffee artist at heart. Even though he chose different road to love coffee (I mean, he's currently not opening his own coffee shop), Ronald has his own perspective about the coffee industry, especially in terms of 4 components that have to be mastered by a barista.

“Learning the basic technique of serving espresso may only take 1 to 2 months. If you want to understand how to make all 9 recipes of espresso based coffee (macchiato, cappuccino, caffe latte, cafe mocha, americano, etc), all you have to do is to master 2 things, making espresso and making steamed milk, that’s all. However, a true barista has to be able to do many other things, such as costing or having the ability to understand the customers’ psychology." he said

Barista is only the last part of the long process of coffee business. Ronald said that there 4 factors that determine the quality of the final product, they are (in order) barista, coffee bean, coffee machine, and grinder.

1. Barista
Barista is the most important factors of all. You give Michael Schumacher an Innova and you give me an F-1 car. If we are to race, I’m pretty sure that I’ll lose. It is pretty much similar with barista. A good barista with bad coffee machine, will produce better coffee than a bad barista with good machine.

The main problem with Indonesian barista is the know-it-all attitude. I prefer training a complete amateur than training professional barista. Some of the leading coffee shop brands believe that their method of making coffee is the best, so they’re kind of brainwashing their baristas.

One day I was asking a barista of a leading coffee shop to make coffee based on my preference. Either he could do it or not, he refused to serve coffee with my method because according to his company, their method is the best one. When that happens, I just ordered hot water, put my own coffee, and enjoy it.

I strongly believe that there is no so-called “best method” to serve coffee, because everyone has their own preference. Therefore, a barista should always be open minded about everything. 


2. Coffee bean
Indonesia has so many varieties of coffee bean, each with their own unique characters. Of course we need some kind of guidelines as map to learn about the character of the bean. Around 7 years ago, I tried to memorize these characteristics. But I also love to tweak and experiment with beans. Let say you change the roasting profile, the whole characteristics of the bean will also change. To me, the possibilities are endless.

I don’t recommend you to memorize them, but rather, experiment with them! A good barista know the good character of the bean and able to minimize the negative traits of the bean.

The other major problem for coffee industry is: most Indonesians are accustomed to the instant coffee. It is no wonder that many people are complaining when they the price tag of premium coffee. It happens all the time. When that happen, I tried to explain that at coffee farm, there are hundreds people hired to handpick the good quality coffee bean. These process has to be conducted manually and it determine the grade of the coffee. It is indeed costly and painstaking process.

Many of the instant coffee makers are using lower quality bean some companies even add corn, rice, or some chemical additives into the coffee. To make it worse, we (Indonesians) are used to that kind of coffee taste, aren’t we?

3. Coffee Machine
When it comes to coffee machine, the question should be: how fast do you need the coffee to be prepared?’ I saw many coffee shops are buying 3-4 groupheads machine just because it looks cooler. You have to consider that 1 grouphead consumes 2.000 watt, if you have 4 groupheads, you need 8.000 watt + 500 watt (for safety).

A friend of mine, owner of a sushi restaurant, asked for coffee machine recommendation. I said, "if the sales doesn’t reach 5 cups of espresso per day, why bother hiring a professional barista? Just use any automatic coffee machines."

Understanding the specification of the coffee machine also one of barista’s responsibilities. In fact, a proper barista has to understand how to assemble and disassemble the coffee machine so he can do minor fixes on his own.

coarse ground coffee


4. Grinder
Ideally, we need 20-30 seconds to prepare a cup of espresso, it is the internationally accepted duration. Less duration results in weak coffee aroma and light crema color, while longer duration will make the coffee taste bitter and darker crema. The duration needed is directly affected to the fineness of the ground coffee.

As general rule for espresso, the coarser the ground coffee, the easier for the water steam to get through (faster time) and vice versa. There are no standard rule for the fineness of the ground coffee, however, for espresso, I recommend the ground coffee to be a little bit finer than salt, while for Kopi Tubruk, the texture should be like castor sugar. The longer the ground coffee contacts with water, the coarser it should be.

The quality of the grinding machine affect the ground coffee in a certain way. A good grinding machine will produce ground coffee with consistent size, meanwhile, with a bad quality grinder, you have to re-set the machine after used 50-100 times.

These 4 basic components are only part of the long process of coffee making business. However, understanding these parts will greatly enhance barista’s knowledge in order to produce good quality coffee. “In the end, coffee is fun, you don’t have to be too serious to learn about it,” said Ronald.