Words & Photos: Edwin Pangestu
The Sneak Peek
The Sneak Peek
“Apa kabar bro! Ini Aston dari Pandava Coffee. Gw baru
buka cafe baru di Citiwalk called Common Grounds. Kapan ada waktu aku ajak
ngopi?”
Itulah isi email Aston Utan kepada saya pada 3 Maret 2014
lalu. Tentu saja, sebagai sesama klan pria brewok, saya tidak mungkin menolak
ajakan Aston, apalagi ajakan ngopi. Justru saya merasa tersanjung bisa menjadi
satu dari sedikit blogger yang bisa mengintip tempat baru ini.
Entah mengapa, pada awal masuk saya merasa atmosfer Common
Grounds tidak seperti coffee shop Indonesia. Tidak lama kemudian saya mendapat
jawabannya: interior coffee shop ini sengaja dibuat menyerupai stasiun subway,
sesuatu yang belum ada di Indonesia.
Aston berkata bahwa ia memang sengaja membuat sebuah
coffee shop yang lebih bernuansa barat. Tampaknya, semakin dewasa level
kompromi Aston dalam hal idealisme semakin berkurang, ini merupakan kabar baik,
paling tidak buat saya.
Di setiap kunjungan pertama ke sebuah coffee shop,
espresso akan selalu menjadi kopi pertama yang saya pesan, meski belakangan
saya semakin mengapresiasi kopi manual brew. Bagi saya, peran espresso
sama halnya dengan Pizza Margherita di restoran Italia. Inilah menu paling
sederhana yang menjadi dasar bagi hampir semua menu lain. Seperti kata pepatah,
“the most simple thing is the hardest to cheat”.
Aston membuatkan sendiri espresso menggunakan biji kopi
house blend yang terdiri dari Ethiopia Yirgacheffe, Aceh, dan Toraja untuk saya
melalui mesin kopi Slayernya. Mungkin saya tidak mengerti banyak mengenai mesin
kopi, namun saya sudah terbiasa dengan krema tebal yang menjadi ciri khas
Slayer. Maklum, dulu saya sering ngopi di Tanamera Coffee, yang juga
menggunakan Slayer, karena letak kantor lama saya persis di sebelahnya. Akibatnya,
sekarang saya malah sering mengeluh jika krema pada espresso saya kurang tebal.
The
Espresso Tasting
Kesan pertama saya adalah, house blend ini memiliki
rasa yang lebih acid, bright dan fruity jika dibandingkan dengan house blend
Pandava atau pun house blend coffee shop lain. Mungkin ini merupakan bentuk
lain dari idealisme Aston soal rasa, karena seperti yang kita ketahui, orang
Indonesia kebanyakan lebih menyukai kopi dengan rasa manis dan pahit. Sekali
lagi, ini merupakan kabar baik bagi saya
yang menyukai kopi dengan acidity tinggi.
Aston meminta saya mencoba espresso kedua dengan biji
kopi yang sama, metode brewing yang sama, hanya saja ia menggunakan grinder
yang berbeda. Menurutnya, grinder baru buatan Jerman ini (saya lupa nama
merknya) mampu menghasilkan bubuk kopi yang lebih konsisten dan lebih seragam
ukurannya. Dari penampilan dan aroma, gelas kedua ini tidak berbeda dari gelas
pertama. Namun begitu saya mencicipinya, saya bisa merasakan bedanya. Espresso
kedua ini memiliki rasa yang sedikit lebih manis, body yang sedikit lebih tipis
sekaligus aftertaste yang lebih clean. Saya lebih menyukai yang kedua!
Kemudian saya iseng menyisakan sedikit espresso di
kedua gelas tersebut dan membiarkannya beberapa saat untuk mengetahui pengaruh perubahan
suhu terhadap rasa. Setelah agak dingin, ternyata rasa acidnya menjadi begitu
menonjol, agak berlebihan malah. Jadi, saya sarankan Anda untuk menghabiskannya
tidak lebih dari 5 menit setelah kopi disajikan di depan Anda untuk mendapatkan
rasa terbaik.
Aston juga menyajikan segelas latte untuk saya coba. Meski bukan
penggemar latte, rasa manis alami dari susu ini merupakan variasi yang
menyenangkan di tengah serbuan rasa acid espresso.
Kejutan berikutnya datang dari menu yang konon akan
menjadi andalan Common Grounds, Truffle Scrambled Eggs. Begitu disajikan bau
harum dari truffle oil begitu menyita perhatian. Saya jadi teringat salah satu
episode Masterchef USA dimana Gordon Ramsay menyebut truffle oil sebagai “one
of the most pungent, ridiculous ingredients ever known to chef.”
Mungkin di kalangan chef ternama, penggunaan bahan ini
kurang populer karena sebagian besar truffle oil dibuat dari parfum. Dan saya
juga kurang paham jenis truffle oil macam apa yang digunakan di Common Grounds.
Namun, bagi saya yang jarang mengkonsumsi truffle sungguhan, menu ini
fantastis!
Menu sederhana yang terdiri dari Norwegian smoked
salmon, onion, dan baguette ini terangkat ke level yang lebih tinggi karena
penggunaan truffle oil. Jika Anda adalah pemilik resto, Anda tahu makanan Anda
enak ketika orang lupa menggunakan condiment yang disajikan.
Mungkin agak terburu-buru jika saya memberikan
penilaian terhadap Common Grounds yang belum melakukan grand launching. Saya
bahkan belum sempat mencicipi kopi manual brewnya. Tapi sejauh ini, saya
menikmati idealisme Aston cs yang semakin kuat. Sekarang pertanyaannya adalah,
apakah orang lain bisa menikmatinya seperti saya?
The Sneak Peek
“How are you bro! It’s Aston from Pandava
Coffee. I just opened a new cafe in Citiwalk called Common Grounds. Do you have
the time to drop by for some cups of coffee?”
That’s the email sent by Aston Utan to me on
March 3rd 2014. Of course, as someone who belongs to the same bearded men clan,
I won’t turn down his offer, especially when coffee is involved. To be honest,
I’m quite honored to be one of the selected people that are offered the sneak
peek of his latest store.
For some reasons, when I entered, I felt that
the atmosfer of the place is unlike any
other coffee shops in Indonesia. Before too long, I got the answer: the
interior of the coffee shop is inspired by subway station, something that doesn’t
exist yet in Indonesia.
Aston said that he deliberately designed a
coffee shop with more western aspects. It seems that, as he grows up, his
ability to compromise, in term of idealism, is declining. And for me, that’s a
good news.
On my first visit to a coffee shop,
espresso will be at the top of my list, even though lately I began to be more
attached to manual brewed coffee. To me, espresso is the same as Margherita Pizza
in Italian restaurant. It’s the most simple menu that act as base for the other
espresso-based coffee. As the saying
goes, “the most simple thing is the hardest to cheat.”
Aston himself brewed me the espresso made of
the coffee shop’s house blend that consisted of Ethiopia Yirgacheffe, Aceh and
Toraja, using the coffee machine Slayer. I may not know much about coffee
machine, but I’m already used to the thick crema that has become the signature
of Slayer. Well, you know, I often drank coffee in Tanamera, which also uses
Slayer, my previous office is right beside that coffee shop. As a result, I
found myslef complaining if I get thin cream on my espresso.
The Espresso Tasting
My first impression is, the house blend has
more acidity, brightness, and fruitiness compared to Pandava’s house blend, or
any other house blends. Perhaps it is another form of Aston idealism of taste,
because as we know, most Indonesians prefer coffee with more pronounced
sweetness and bitterness. Once again, it is good news to me who also happens to
love high acidity.
Aston asked me to taste the second espresso
using the very same bean, brewing method, but he used different grinder.
According to him, the new German grinder (I forgot the brand name) is able to
produce more consistent particle of ground coffee. From the appearance and
aroma, I didn’t find much difference. But when I sipped it, I know what he was
talking about. The second espresso has slightly sweeter flavor, lower body, and
also cleaner aftertaste. I prefer the second one!
I tried to save some espresso in both cups
and let them cool down for some time to know how the temperature affected the
taste. After they’re a bit colder, I got more pronounced acidity, a bit
overbearing I guess. So, I recommend you to finish your espresso not longer
than 5 minutes after served to get the best result.
Aston also gave me a cup of
latte. I’m not a big fan of latte, but I found that natural sweetness from the
milk was a refreshing variation in the middle of the espresso’s heavy acidity.
The next surprise came from the menu that
will soon be the favorite in Common Grounds, Truffle Scrambled Eggs. As it was
served, the smell of the truffle oil grabbed my attention. It reminded me of
one of the episodes of Masterchef USA where Gordon Ramsay called truffle oil as
“one of the most pungent, ridiculous ingredients ever known to chef.”
Perhaps, for any top chefs, the use of this
ingredient is a bit notorious because it was mostly made from perfume. I also don’t
know which truffle oil did they use there, a real one, or the perfume. However,
for someone who rarely eat real truffle, this menu was fantastic!
The simple menu which consists of Norwegian
smoked salmon, onion, and baguette is elevated into a whole new level because of
this truffle oil. If you’re a restaurant owner, you know your food is good when
people forget to use the condiments.
It’s a bit premature for me to give any
judgement to Common Grounds as it didn’t have its grand lauching. I even haven’t
go the chance to try their manual brewed coffee. But so far, I enjoy Aston co
idealism that grew stronger. Now the question is, will other people enjoy it as
much as I do?
Common Grounds
City Walk, Ground Floor
Jl. KH Mas Mansyur no. 121
Jakarta Pusat
Common Grounds
City Walk, Ground Floor
Jl. KH Mas Mansyur no. 121
Jakarta Pusat
No comments:
Post a Comment